SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA

Jumat, 15 November 2013

LELAKI DAN SENJA



Aku melihatnya pertama kali ketika aku duduk di bangku taman kota menunggu kekasihku saat sore hampir diganti oleh malam. Saat itu aku melihatnya sedang bersama seorang laki-laki. Duduk di sebuah kursi panjang berwarna putih tepat dibawah sebuah pohon. Aku memerhatikan mereka sejak tadi. Dari sayup-sayup suara yang bisa kudengar, mereka sedang terlibat pertengkaran. Aku melihat laki-laki itu seperti sedang membentak. Kemudian wanita itu mencoba memegang tangan laki-laki itu tapi ditolaknya dengan kasar. Lalu wanita itu menoleh ke arahku. Dari jauh aku masih bisa melihatnya dengan jelas. Wajahnya bulat dan bersih. Dia punya mata dan bibir yang indah. Rambut panjang dan hitam pekat yang diikat menyerupai ekor kuda.

Seperti habis berlari keliling lapangan bola. Tiba-tiba detak jantungku berpacu lebih cepat. Ada sesuatu yang menyesakkan dada. Sungguh. Lalu sekali lagi laki-laki itu seperti membentak. Wanita itu pun menangis dan akhirnya laki-laki itu menggandeng tangannya lalu membawa dia pergi.
Semenjak sore itu aku sering melihatnya di taman ini. Seperti biasa wanita itu datang dengan laki-lakinya yang menggandeng tangannya mesra. Lalu mereka duduk berdua. Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu milik laki-laki itu. Tapi tak lama kupandang mereka kembali terlibat pertengkaran. Laki-laki itu kembali membentak wanita itu. Lalu mereka pergi menghilang di ujung jalan.


___

Masih sama seperti sore-sore sebelumnya, aku masih duduk di bangku taman ditemani sebuah buku. Membaca buku di saat menunggu adalah caraku memanfaatkan waktu di tengah situasi yang begitu membosankan. Aku sengaja menunggu wanita itu datang, meski dia tak tahu kalau aku menunggunya.

Wanita itu datang dengan tangannya menggandeng tangan laki-lakinya itu. Mesra. Itulah yang bisa ditangkap indera penglihatanku. Lalu mereka duduk di bangku masih tepat di bawah pohon. Tapi seperti yang kuduga, mereka kembali terlibat dalam pertengkaran. Dan yang membuatku terkejut laki-laki itu mengayunkan tangan kekarnya dan mendaratkannya di pipi wanita itu. Sebuah tamparan. Tiba-tiba hatiku merasa perih. Seperti tersayat-sayat oleh belati. Bisa kau bayangkan bagaimana perihnya, bukan? Wanita itu pun tertunduk dan menangis. Tapi laki-laki itu meninggalkannya sendiri.

Aku menghampirinya setelah memastikan bahwa laki-laki itu tak kembali.
“Aku tak sengaja melihatmu dengan kekasihmu dan tentu sebuah tamparan di wajahmu.” Wanita itu menoleh ke arahku. Di matanya telah tergenang air mata.
“Memang semua ini bukan urusanku. Tapi pertama kali aku melihat apa yang dia lakukan padamu sepertinya ini menjadi urusanku. Aku tak pernah suka dengan sikap kasar seorang pria pada wanita.” Wanita itu hanya terdiam. Sesekali jari lentiknya menghapus air matanya.
“Kau selalu datang di ujung sore, bergandeng tangan mesra dengan kekasihmu. Tapi kau bertengkar lalu kekasihmu membawamu pergi. Selalu seperti itu yang aku lihat. Lalu apa artinya sebuah gandengan tangan itu?” Wanita itu masih terdiam.
“Kau tak akan mengerti. Ini rumit!” Aku bisa mendengar suaranya. Begitu lembut. Ya, begitulah yang ditangkap oleh gendang telingaku. Tapi ia tak memberiku jawaban yang kumau. Sebegitu rumit sampai dia tak bisa menjelaskan.

Sekarang aku tahu, namanya Senja. Begitulah yang dia ucapkan ketika aku mengajaknya berkenalan. Kujulurkan tanganku dan dia menyambutnya. Aku bisa merasakan telapak tangannya yang halus. Dia indah dan menenangkan. Setidaknya untuk aku yang sekarang duduk di sampingnya.
____

Sudah menjadi kebisaanku yang sering datang ke taman kota dan menunggu kekasihku. Tapi, aku menjadi semakin sering datang ke taman semenjak kenal dengan Senja. Bahkan jika aku tidak menunggu kekasihku, aku datang untuk menunggu Senja. Menunggunya datang bersama kekasihnya. Menggandeng tangan kekasihnya kadang juga bergelayut mesra di lengan kekasihnya.

Senja datang lebih awal. Saat aku sampai di taman, kulihat Senja sudah duduk di bangku taman. Ketika melihatku dari kejauhan dia bangun dari duduknya lalu melambaikan tangannya.“Kau sudah datang?”tanyaku.
“Seperti yang kau lihat.”
“Kau menunggu kekasihmu?”tanyaku lagi.
“Kamu menunggu kekasihmu juga bukan?”katanya menunjukkan senyumnya.

Entah apa yang terjadi. Setiap kali aku bersama Senja aku selalu merasa bahagia. Apalagi ketika aku melihat senyumnya. Seperti ada angin sejuk yang berhembus di sekitarku.

Ketika kami merasa sudah cukup lama berbincang, aku pun pergi meninggalkan Senja dan pindah ke bangku lain. Aku tahu kekasih-kekasih kami sebentar lagi datang.

Benar. Kekasih senja datang lalu duduk di sampingnya. Aku melihat mereka sedang asyik bercanda. Dadaku terasa penuh. Tenggorokanku seperti tersangkut sesuatu. Aku mengerti sekarang. Aku jatuh cinta pada Senja. Aku mencintai Senja.

Mereka terdiam setelah kekasih Senja itu memulai pembicaraan yang serius. Cukup lama mereka terdiam dan akhirnya sebuah tamparan keras kembali mendarat di wajah Senja. Oh, sungguh. Aku ingin sekali memukul laki-laki itu. Tanganku mengepal sejak melihatnya menampar Senja. Seringan itukah tangannya? Apa ibunya bukan seorang wanita? Lalu laki-laki itupun membawa senja menghilang di ujung jalan.
___

Ada wanita yang melambaikan tangannya padaku saat aku baru tiba di taman. Aku tahu itu Senja. Senja kembali datang lebih awal dari biasanya. Aku bahagia bila dia datang lebih awal, karena aku memiliki waktu banyak bersamanya. Dan kami sepakat untuk menghabiskan malam bersama.
“Ada apa kau mengajakku kemari?”tanyaku penasaran.
“Aku hanya ingin punya waktu lebih bersamamu.”katanya.
“Bersamaku?” Senja hanya mengangguk. Lalu mulutnya kembali menyedot ice caramel latte.
“Lalu kekasihmu?” tanyaku lagi.
“Dia sedang pergi. Ah, tak usah bahas dia lagi.”jawabnya seperti kesal.

Kami saling bercerita. Tentang apapun yang kami anggap pantas untuk diceritakan. Tentang lagu favorit, film favorit, dan aku tahu kalau ice caramel latte adalah minuman favoritnya. Aku suka cara dia bercerita. Ekspresinya yang begitu jelas menggambarkan ceritanya. Aku seperti ada dalam cerita yang dia sampaikan.

Sampai akhirnya Senja bercerita tentang masalahnya dengan laki-laki itu yang membuat embun di matanya menetes. Dan aku tahu kalau laki-laki itu ternyata adalah suaminya. Mendengar pernyataan itu dadaku seperti digedor-gedor keras dengan godam. Tubuhku seperti hilang kendali. Pikiranku meringan terbawa angin, entah kemana. Namun aku mencoba untuk mengembalikan semuanya. Aku menggeser dudukku dan mendekat padanya. Kurangkul dia dan kuletakkan kepalanya untuk bersandar di dada bidangku. Lalu Senja memeluk tubuhku erat. Tangannya meremas erat punggungku. Air matanya membasahi kemejaku. Aku ingin bilang padanya untuk tidak melepas pelukannya dari tubuhku.
“Aku ingin lepas darinya.” katanya yang masih sambil menangis.
“Kalau kau tak bahagia dengannya, ijinkan aku untuk membuatmu bahagia. Aku akan membawamu pergi darinya.”
“Tapi aku tak bisa, kau tahu? Apa kau akan meninggalkan kekasihmu? Jangan!” katanya.
“Apa kau akan bertahan dengan sikapnya itu?” Senja mengangkat kepalanya kembali. Lalu memandangku.
“Entahlah!” jawabnya singkat.
“Apa kau mampu, Senja?”
“Seperti senja yang selalu muncul di ujung sore. Ia selalu datang bersama matahari. Ia tidak bisa indah jika tidak bersama matahari. Meskipun setelahnya matahari selalu membawa dia pergi, tapi apa mungkin dia tetap menjadi senja bila tidak bersama matahari?” aku mengerti. Ya, senja akan selalu bersama matahari. Bahagia atau tidak mereka, Tuhan sudah menciptakan mereka bersama. Sinar matahari yang membuat senja menjadi indah.
“Jujur, aku selalu bahagia setiap berada di sampingmu. Awalnya aku tidak mengerti kenapa dengan diriku. Aku selalu tidak suka melihatmu bermesraan dengan kekasihmu, apalagi bila dia bersikap kasar padamu. Tapi akhirnya aku menyadari ini yang namanya cinta.” kataku.
“Aku juga begitu. Aku sempat menyangkal perasaan yang muncul ketika aku kenal dengannmu. Perasaan yang sebelumnya tak pernah datang. Tapi aku tak bisa menghindarinya. Aku sudah jatuh cinta saat pertama melihatmu.” balas Senja. Lalu kukecup keningnya. Senja semakin erat memeluk tubuhku. Erat sekali seperti tak ingin aku pergi darinya. Aku pun membalas pelukan eratnya itu. Memejamkan mata dan merasakan alunan lagu di cafĂ© malam itu.
____

Aku akan pergi. Temui aku di pelabuhan sekarang juga.
Setelah membaca pesan dari Senja, aku berangkat menuju pelabuhan. Sampai disana kulihat kapal yang membawa Senja sudah berangkat. Dari kejauhan kulihat Senja yang berdiri di pinggir kapal melambaikan tangan padaku. Aku pun membalas lambaian tangannya meskipun aku melihat ada kekasihnya (maksudku suaminya) yang berdiri di sampingnya. Saat itu aku sungguh tidak peduli bahkan jika dia kembali dan berenang untuk menemuiku. Aku akan siap dengan kepalan tangannku. Kulihat Senja masih melambaikan tangan. Semakin lama kapal yang membawa Senja makin terlihat kecil dan akhirnya kapal itu menghilang di kaki langit bersamaan dengan tenggelamnya matahari.

Senja, wanita yang aku cintai sejak pertama pertemuan kami. Cinta pandangan pertama yang menurut orang ini tidak masuk akal dan terlalu berlebih-lebihan. Tapi aku tidak peduli karena itulah yang sekarang terjadi padaku. Bagiku, cinta itu sederhana. Sesederhana pertama kali melihatnya. Sesederhana melihatnya pergi tanpa tahu kapan kembali.

- - O - -

“Jadi kau selalu datang ke pelabuhan ini untuk sekedar melihat Senja?”
Saya bertanya pada laki-laki itu. Saya memberanikan diri mendekatinya setelah sering melihat kebiasaannya datang ke pelabuhan ini.

Dia memandang wajah saya. Saya sempat takut dengan tatapannya. Tatapan yang menjelaskan pada saya bahwa senja di ujung sore ini bisa menghadirkan kembali Senja, wanita yang dia cintai. Tapi lama-lama tatapan itu membuat saya juga ingin menatapnya. Tiba-tiba hati saya berdesir halus. Entahlah, saya tidak mengerti. Tapi yang jelas, saat ini kami saling menatap. Alisnya seperti hendak menyatu. Wajahnya seperti mengingat-ingat sesuatu. Dia masih belum mau membuka bibir tipisnya untuk menjawab pertanyaan saya. Tiba-tiba seperti ada pancaran terang yang keluar dari matanya. Lalu bibirnya mulai bergerak dan membentuk sebuah utas senyum.
“Kau seperti Senja!”katanya pada saya.


The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar